Penjelasan Boetanol

Penjelasan Boetanol


Bioetanol merupakan etanol atau kependekan dari etil alkohol (C2H5OH) atau sering juga disebut dengan grain alcohol. Etanol berbentuk cairan tidak berwarna dan mempunyai bau khas. Berat jenis pada suhu 15oC sebesar 0,7937 dan titik didihnya 78,32 oC pada tekanan 76 mmHg. Sifat lainnya adalah larut dalam air dan eter dan mempunyai panas pembakaran 328 Kkal. Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, dan campuran bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade, yaitu grade industri dengan kadar alkohol 90-94%, netral dengan kadar alkohol 96-99,5% umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5% (Hambali et al. 2007). 10 Bioetanol dapat dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa keunggulan yaitu mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18 %, bioetanol merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan cukup ramah lingkungan serta dihasilkan melalui proses yang cukup sederhana yaitu melalui proses fermentasi menggunakan mikrobia tertentu. Bioetanol sebagai bahan bakar memiliki nilai oktan lebih tinggi dari bensin sehingga dapat menggantikan fungsi aditif seperti metil tertiary butyl ether (MTBE) yang menghasilkan timbal (Pb) pada saat pembakaran. Di Indonesia, minyak bioethanol sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis tanaman yang banyak tumbuh di negara ini dan sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi atau selulosa, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, bonggol jagung, dan kayu. Tahap inti proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula baik yang berupa glukosa, fruktosa maupun sukrosa oleh yeast atau ragi terutama S. cerevisiae dan bakteri
Z. mobilis. Pada proses ini gula dikonversi menjadi etanol dan gas karbon dioksida. Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku, fermentasi dan pemurnian. Pada tahap persiapan, bahan baku berupa padatan terlebih dahulu harus dikonversi menjadi larutan gula sebelum difermentasi menjadi etanol. Untuk bahan-bahan yang sudah berada dalam bentuk larutan seperti molase dapat langsung difermentasi. Proses pengecilan ukuran dengan cara menggiling dapat dilakukan sebelum memasuki tahap pemasakan. Tahap pemasakan meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks. Pada tahap likuifikasi dilakukan penambahan air dan enzim alpha amilase. Proses ini dilakukan pada suhu 80-90oC. Berakhirnya proses likuifikasi ditandai dengan parameter cairan seperti sup. Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 – 60 oC. Enzim yang ditambahkan pada tahap ini adalah enzim glukoamilase. Pada tahap sakarifikasi akan terjadi pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana. Tahap fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada tahap ini terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim dan ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran suhu 27 – 32 oC. Pada tahap ini akan 11 dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan stokiometri yang sama dengan etanol yang dihasilkan yaitu 1 : 1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan sebagai bahan baku gas dalam pembuatan minuman berkarbonat. Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn 1981). Secara biokimia fermentasi juga dapat diartikan sebagai pembentukan energi melalui senyawa organik. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan baku yang mengandung gula atau glukosa terlihat pada reaksi berikut:

Dari reaksi diatas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas dan secara teoritis 100% karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9 % menjadi CO2. Fermentasi menurut jenis medianya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fermentasi media padat dan media cair. Fermentasi media padat adalah fermentasi yang subtratnya tidak larut dan tidak mengandung air bebas, tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang subtratnya larut atau tersuspensi dalam media cair. Fermentasi media padat umumnya berlangsung pada media dengan kadar air berkisar antara 60-80 %. Dalam proses fermentasi, glukosa dapat diubah secara anaerobik menjadi alkohol oleh bermacam-macam mikroorganisme. Khamir sering digunakan dalam proses fermentasi etanol, seperti Saccharomyces cerevisiae, S. uvarum, Schizosaccharomyces sp dan Kluyveromyces sp. Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35oC. Laju awal produksi etanol dengan menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun produktifitas keseluruhan menurun karena adanya pengaruh peningkatan etanol yang dihasilkan. (Ratledge 1991). Khamir yang sering dipergunakan dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces cereviseae. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik, tumbuh baik pada suhu 30oC dan pH 4,0 – 4,5 (Oura 1983). Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cereviseae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan satu fasa pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan
menjadi biomassa, etanol dan CO2. Terdapat dua parameter yang mengendalikan pertumbuhan dan methabolisme khamir dalam keadaan anaeorobik, yaitu konsentrasi gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah (kurang dari 1 g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi (lebih dari 300 g/l) akan menjadi penghambat (Mangunwidjaja 1994). Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulsi CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol yang terbentuk akan menghalangi proses fermentasi lebih lanjut setelah konsentrasi alkohol mencapai 13-15 persen volume dan biasanya maksimum 13 persen volume (Prescott dan Dunn 1981). Selama proses fermentasi juga menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura 1983). Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor perlu diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam proses fermentasi, biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05 – 0,10 mm Hg. Jika tekanan oksigen yang diberikan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi akan cenderung kearah pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral seperti Mn, Co, Cu dan Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat dan vitamin diperlukan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan khamir.

Sumber : tesis Pak i wayan arnata

0 comments